Minggu, 01 Februari 2015

peraturan perundangan sebagai landasan hukum KPH

Peraturan perundangan
Up

2.2. Peraturan Perundangan

Landasan hukum dari KPH di indonesia, mempunyai dasar hukum sebagai berikut :
  • UMUM :
–      UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
–      PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
–      PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemda Prov dan Pemda Kab/Kot
–      PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
  • KHUSUS :
–      PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
  • TEKNIS :
–      Permenhut No. P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH
–      Permenhut No. P.6/Menhut-II/2010 tentang NSPK Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP
–      Permendagri No. 61 tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP
–      Permenhut No.P.41/Menhut-II/2011 tentang Standar Fasilitasi Sarpras pada KPHL dan KPHP Model
–      Permenhut No. P.42/Menhut-II/2011 tentang Kompetensi Teknis Bidang  Kehutanan Pada KPHL dan KPHP
–      Draf Perdirjen tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan

mengapa harus KPH

Inikah Akar Terbentuknya KPH ???
Apabila kita kembali membuka sejarah tentang Pengelolaan Hutan di Indonesia–khususnya pengelolaan hutan jati di Jawa–sebenarnya kita mempunyai succes story dalam pembentukan KPH, meskipun bukan dalam definisi Kesatuan Pengelolaan Hutan tetapi dalam definisi Kesatuan Pemangkuan Hutan (Houtvesterij dan Opper-Houtvestrij). Sebenarnya apabila dikaji secara akademik konsep KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang digagas dalam PP No.6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 ini secara kualitas masih dibawah dari rancang-bangun konsep Houtvesterijyang dirancang oleh Bruinsma tahun 1892.
Gambar 1. Proses pengangkutan kayu dengan monorel pada zaman Kolonial
Salah satu alasan mengapa kualitas Houtvesterij lebih baik dibanding konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan karena selain dalam Houtvesterijmerupakan sinergi antara konsep Planning Unit dan Management UnitHoutvesterij sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan berupaya mengakomodasikan subsistem kehutanan dengan  sub sistem sosial dimana kalau dicermati dalam suatu KPH selain mencakup kawasan hutan juga mencakup kawasan non hutan (wilayah administratif desa, kecamatan, atau kabupaten). Sayangnya, sampai dengan saat ini banyak rimbawan Indonesia yang tidak memahami secara utuh apa dan bagaimana konsep Houtvesterij (Kesatuan Pemangkuan Hutan) ini diimplementasikan dalam pengelolaan hutan di Jawa dan di Indonesia pada umumnya.
Konsep Houtvesterij yang dibuat oleh Bruinsma merupakan konsep pengelolaan kawasan hutan dengan pembentukan Planning Unit(Boschafdelling/Bagian Hutan) dan manajemen organisasi pengelola hutan (organisasi teritorial) yang efektif dan efisien. Dalam konsepHoutvesterij tersebut kawasan hutan ditata, dipetakan dan diinventarisasi, dan diekspolitasi secara swakelola sehingga tindakan pengelolaan hutan dapat dilakukan lebih intensif. Secara garis besar ada dua organisasi pokok dalam konsep Houtvesterij, yaitu: PLANNING UNIT; bertugas mengendalikan/ mengontrol kelestarian hasil (berupa standing stock), dan MANAGEMENT UNIT; sebagai organisasi pengelolaan hutan berfungsi untuk mengendalikan keuntungan finansial perusahaan. Antara konsep planning unit dengan management unit saling berdiri sendiri (terpisah dan mandiri), dan tidak ada yang menjadi sub-ordinasi dari yang lain, akan tetapi keduanya bersinergi untuk mencapai kelestarian hasil dan kelestarian perusahaan.
Gambar 2. Kegiatan pengangkutan kayu dengan lokomotif bertenaga manusia
Konsep Planning Unit diimplementasikan dilapangan dalam bentuk Boschafdelling, cap centra (pusat tebang) dan petak. Sedangkan implementasi konsep Management Unit dilakukan melalui pembentukan organisasi  teritorial kawasan mulai dari level Mandor di tingkat petak, Boschwagter di tingkat RPH, Opsiener/BoschArchi tec di tingkat BKPH, dan Houtvester sebagai pimpinan suatu Houtvesterij. Secara garis besar hubungan antara Boschafdelling, Cap Centra dan Petak adalah a). Boschafdelling adalah kawasan untuk menjamin asas kelestarian hutan melalui penetapan besaran etat baik etat luas maupun etat volume; b). Cap centra adalah implementasi pelaksanaan kegiatan teknis kehutanan yaitu kegiatan tanaman, pemeliharaan, maupun tebangan sebagai penjabaran besaran etat luas dan etat volume secara kontinu dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan kemampuan mandor, ketersediaan tenaga kerja dan ketercukupan biaya; dan c). Petak berperan sebagai unit manajemen dan unit administrasi terkecil dari implementasi asas kelestarian hasil, dimana penerapan etat harus mempertimbangkan lokasi areal yang kompak dalam suatu petak (atau anak petak).
Seiring dengan berjalannya waktu dan kebutuhan organisasi dimana adanya perkembangan industri kehutanan yang membutuhkan pasokan bahan baku kayu secara kontinyu, konsep Houtvesterij mengalami perkembangan dengan lahirnya konsep Opper Houtvesterij, yaitu penggabungan Houtvesterij- Houtvesterij dengan tujuan kelancaran supply bahan baku log untuk industri pengolahan kayu. Alasan penggabungan tersebut untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan. Setelah dilaksanakan analisis finansial, supply kayu untuk industri tersebut tidak mampu dipenuhi dari satu Houtvesterij, sehingga lahirlah gagasan penggabungan (opper Houtvesterij). Pembentukan Opper Houtvesterijsaat itu lebih menekankan pada efisiensi pengelolaan dan kelancaran supply log ke industri, dan belum mempertimbangkan aspek wilayah administrasi pemerintahan, sehingga ada overlapping antara wilayah Opper Houtvesterij dengan wilayah kabupaten.

Gambar 3. kondisi alam pegunungan dieng masih berupa hutan perawan Tahun 1911
Berkaca dari pengalaman Pemerintah Hindia Belanda dalam membentuk Houtvesterij di Jawa, sebelum memulai tahapan pembentukan houtvesterij, salah satu tahapan penting yang dilakukan oleh Belanda adalah penetapan kawasan hutan negara melalui Domeinverklaaringdalam Agrarische-wet (UU Agraria) tahun 1870. Akan tetapi yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua adalah, sebelum menetapkanDomeinverklaaring, selama beberapa dasawarsa Belanda terlebih dahulu melakukan proses sosial untuk “menaklukkan” hak ulayat dari penduduk asli di Pulau Jawa melalui pendekatan metode Blandhongdiensten (Dinas Blandhong). Setelah hak ulayat tersebut berhasil diselesaikan dengan baik, barulah Belanda mengumumkan dokumen Domeinverklaaring tersebut.
Secara garis besar, kegiatan penataan hutan dalam pembentukan Houtvesterij di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap penataan hutan jati produktif, dilanjutkan penataan hutan jati yang kurang produktif, dan yang terakhir adalah penataan hutan di hutan lindung. Pada penataan pertama tersebut tentu saja diperlukan biaya yang besar karena semua kegiatan baru pertama kali dilakukan. Sebelum enam kegiatan di atas dilaksanakan, pada penataan pertama dilakukan pekerjaan-pekerjaan sebagai berikut:
Pembuatan batas kawasan hutan, yang sebelumnya telah ditetapkan dan dipetakan dalam register kawasan hutan yang bersangkutan. Register batas kawasan hutan ini dilakukan sebagai tindak lanjut keluarnya Domeinverklaaring tahun 1865.

Gambar 4. Contoh Arsip Peta pada zaman Kolonial, Garut dan sekitarnya
Penetapan kawasan hutan yang akan menjadi satu kesatuan unit perencanaan yang dinamakan Bagian Hutan (Bosch Afdeling). Luas Bagian Hutan dibuat sekitar 4800 – 6400 ha, tetapi ada beberapa yang mencapai lebih dari 10.000 ha. Setiap Bagian Hutan diberi nama dengan menggunakan nama-nama yang terkenal di daerah tersebut, baik nama desa, bukit atau tempat-tempat yang mempunyai arti khusus.
Pembagian kawasan dalam Bagian Hutan yang telah diberi batas tersebut menjadi beberapa blok. Batas antar blok ditetapkan sebagai alur induk, diberi tanda-tanda yang bersifat permanan. Alur induk ini akan berfungsi sebagai jalan utama untuk mengangkut hasil hutan maupun transportasi bagi setiap kegiatan pengelolaan. Lebar jalan untuk alur induk adalah 6 m, dan semua alur induk diberi nama dengan huruf kapital, mulai dari A alur induk pertama sampai alur induk yang terakhir.
Pembagian seluruh kawasan Bagian Hutan ke dalam petak (compartment) yang luas normalnya berkisar antara 40-70 ha, walaupun di beberapa tempat ada pula yang sampai 80 ha.
Batas antar petak juga berupa jalan yang dibuat permanen, disebut alur cabang; lebar alur cabang adalah 4 m. Semua petak diberi nomer urut yang juga bersifat permanen, untuk keperluan administrasi dan pembayaran upah tenaga yang melaksanakan pekerjaan di petak yang bersangkutan. Pemberian nomor petak dimulai dari barat laut, berurutan mengikuti arah jarum jam dengan menggunakan angka Arab.
Semua alur induk maupun alur cabang diberi pal-pal hm untuk menyatakan jarak setiap 100 m. Akan tetapi di lapangan pal hm biasanya dipancang untuk tiap jarak 200 m demi kepentingan penghematan biaya penataan. Setiap pal hm diberi nomer, dengan nomer nol (0) dari TPK (tempat penimbunan kayu) yang akan digunakan untuk menyimpan kayu hasil dari Bagian Hutan yang bersangkutan. Pal hm di seluruh alur induk dan alur cabang dicantumkan dengan ketelitian tinggi di atas peta kerja skala 1:10.000.
Melakukan pengukuran dengan ketelitian tinggi terhadap alur induk maupun alur cabang. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut dibuat peta Bagian Hutan dengan berbagai skala untuk bermacam-macam kepentingan pengelolaan. Dengan peta tersebut dapat diketahui panjang alur atau jarak suatu petak dari TPK. Setiap petak diketahui luasnya, sampai ketelitian satu angka di belakang koma. (sumber : Teguh Yuwono, S. Hut., MSc.)
Pentingnya Pembentukan KPH untuk Jaman Sekarang
Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia
Indonesia dengan luas hutan ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire memegang peranan penting dalam perubahan iklim global. Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di Indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Di sisi lain, sebagaimana negara berkembang lainnya hutan masih diposisikan sebagai sumberdaya pembangunan ekonomi yang dikhawatirkan akan mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan yang memperbesar emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan.



Gambar 5. Potret Deforestasi dan Degradasi hutan Indonesia

Sampai dengan saat ini, di Indonesia masih terjadi deforestrasi dan degradasi hutan yang meyebabkan penurunan penutupan vegetasi hutan. Berdasarkan data dan hasil analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar, penurunan penutupan vegetasi hutan yang sangat besar terjadi di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan pada periode 1997 s/d 2000 terjadi selain di Sumatera dan Kalimantan, juga di Papua, yang selanjutnya secara umum terjadi penurunan angka rata-rata penurunan penutupan vegetasi hutan pada periode 2000 s/d 2005.

Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia disebabkan oleh :
ü  Kebakaran dan perambahan hutan;
ü  Illegal loging dan illegal trading yang antara lain didorong oleh adanya permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya di pasar lokal, nasional dan global.
ü  Adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dsb.
ü  Adanya penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan hutan.
ü Pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip PHL.
Berikut Beberapa Potret Kehutanan Indonesia
Gambar 6. Akibat kebakaran hutan
Gambar 7. Pembukaan Kawasan Hutan untuk eksplorasi tambang
Gambar 8. Peralihan Fungsi Kawasan Hutan untuk Areal Kebun Sawit

Gambar 9. Illegal Logging merupakan salah satu masalah yang cukup serius
Pembangunan KPH di Indonesia sampai saat ini masih terbatas pada sebagian kawasan hutan yang menjadi areal kerja Perhutani (BUMN) di P Jawa, yang telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda dan pada sebagian kawasan hutan konservasi dalam bentuk unit-unit Taman Nasional. Sampai dengan tahun 1990an, di luar Jawa pernah terbentuk unit-unit KPH namun dalam perkembangannya sebagai akibat kuatnya paradigma timber based management keberadaan KPH sebagai unit manajemen tidak berkembang bahkan dibubarkan, sehingga Dinas Kehutanan sebagai institusi pengurusan hutan (forest administration) kehilangan dasar pengurusan di tingkat tapak berupa institusi pengelola (forest mangement) dalam bentuk KPH.

Untuk menangani permasalahan tersebut di atas dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan yang saling melengkapi, yaitu membangun kembali institusi KPH di satu pihak dan di lain pihak mmelanjutkan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pencegahan terjadinya deforestasi dan degradasi, antara lain melalui pencegahan kebakaran hutan, perambahan. Illegal logging, dsb.



Gambar 10. Masyarakat sekitar hutan salah satu aspek yang perlu diperhatikan

Belajar dari pengalaman pengelolaan hutan di Jawa dan Taman Nasional, serta pengalaman di beberapa negara maju seperti Jerman, Swizerland, dsb, yang pengelolaan hutannya juga dilakukan dalam satuan unit-unit pengelolaan dalam bentuk KPH (Forest Management Unit/FMU) dan telah terbukti mampu memberikan keuntungan bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat secara adil, baik dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan, maka pengalaman tersebut menjadi salah satu faktor pendorong komitmen Indonesia untuk mempercepat pembangunan KPH pada kawasan hutan di luar P Jawa. Dengan pembetukan unit-unit wilayah KPH dengan institusi pengelola yang memadai, diharapkan PHL dapat diimplementasikan dengan baik di tingkat tapak.

Pengelolaan hutan secara lebih baik melalui penerapan PHL yang sejalan dengan upaya mitigasi perubahan iklim (Rooper, 2001), meliputi :
  1. Perbaikan kebijakan pengelolaan hutan dan pemanenan serta teknologi untuk meningkatkan kapasitas hutan yang ada untuk penyerapan dan penyimpanan karbon;
  2. Investasi yang dapat meminimalkan deforestasi, menjaga atau meningkatkan pertumbuhan tegakan, meminimalkan gangguan terhadap tanah dan tegakan sisa dalam pembalakan, dan menjamin regenerasi yang cepat dan memuaskan;
  3. Mengadopsi program-program perlindungan hutan yang dapat diterima secara sosial atau joint management.

Perlunya Reorganisasi Kelembagaan
Ketika sistem pemerintahan otoda diberlakukan setiap kabupaten di Sulawesi Selatan membentuk lembaga setingkat dinas atau kantor untuk menangani urusan kehutanan di daerahnya. Pada tingkat provinsi, lembaga dinas kehutanan yang memang sudah ada sejak sebelum otoda masih ada dan menjalankan tugas fungsinya pada era otoda. Selain itu, kecuali Kanwil Kehutanan, semua Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan di Sulawesi Selatan masih dipertahankan dan menjalankan tugas fungsi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) masing-masing. Tahun 2004 Departemen Kehutanan juga membentuk Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional, yang mana wilayah Sulawesi masuk dalam regional IV.

Banyaknya lembaga kehutanan tampaknya juga menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan kehutanan di daerah. Sekalipun misalnya tupoksi setiap lembaga dan tata hubungan kerjanya dengan lembaga lainsudah diatur dalam ketentuan, dalam prakteknya seringkali terjadi tumpang tindih, dan lemahnya koordinasi seringkali menjadi salah satu isu penting penyebab tidak efektifnya mengapa sampai saat ini berbagai permasalahan pengelolaan hutan seakan tidak kunjung dapat diselesaikan dan kerusakan hutan terus berlanjut.

Dengan adanya KPH yang disertai dengan organisasi dan kelembagaannya, maka semakin bertambah jumlah lembaga yang akan mengurusi hutan di daerah. Menarik untuk dipertanyakan, akankah permasalahan kehutanan lebih mudah diatasi dengan diperbanyaknya lembaga yang mengurusi hutan? Dengan semakin banyaknya lembaga yang mengurusi obyek yang sama, “koordinasi” menjadi sangat penting. Namun dalam prakteknya, koordinasi hanyalah sebuah kata yang mudah diucapkan namun tidak mudah diimplementasikan. Di antara UPT Departemen Kehutanan yang ada di Sulawesi Selatan saat ini pun tidak mudah diadakan koordinasi. Sebagai contoh, dalam menyusun rencana rehabilitasi hutan dan lahan, apakah UPT Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) sudah mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BTPDAS) dan Balai Penelitian Kehutanan yang ada di daerah tersebut? Penambahan lembaga/organisasi yang mengurusi hutan tentunya berimplikasi terhadap jumlah sumberdaya manusia yang akan dipekerjakan untuk mengurus hutan.

Terbentuknya dinas-dinas kehutanan tingkat kabupaten pada era otoda meningkatkan jumlah tenaga manusia, baik di kantor maupun di lapangan. Sebagai konsekuensinya, jumlah anggaran untuk operasional lembaga dan gaji staf untuk mengurus hutan pun meningkat. Ironisnya, sejalan dengan semakin banyaknya lembaga dan sumberdaya manusia yang dikaryakan untuk mengurus hutan pada era otoda, banyak laporan menyebutkan bahwa degradasi hutan justru meningkat drastis pada era tersebut12. Sekalipun berpotensi memperbaiki system pengelolaan hutan di masa yang akan datang, KPH dan kelembagaannya perlu dibentuk dengan pertimbangan yang matang. Jumlah lembaga yang banyak tidak menjamin terciptanya system pengelolaan yang baik, namun sebaliknya justru menyebabkan semakin sulitnya koordinasi dan tumpang tindih tugas dan fungsi. Dengan diberikannya tugas dan fungsi yang cukup luas kepada KPH, apakah keberadaan UPT BPDAS di daerah masih diperlukan? Apakah tidak sebaiknyaUPT BTPDAS digabung saja dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan? Apakah pada tingkat kabupaten masih diperlukan lembaga kehutanan setingkat dinas? Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan reorganisasi kelembagaan kehutanan secara menyeluruh sebelum KPH dibentuk, agar salah satu tujuan pembentukan KPH, yaitu “efisien” dapat tercapai.

Kedudukan Lembaga/ Organisasi KPH

Dari sejumlah kebijakan yang ada menyangkut KPH, belum ada pengaturan secara jelas bagaimana kedudukan lembaga KPH terkait dengan lembaga kehutanan yang sudah ada saat ini. Pasal 8 PP 6/2007 hanya mengatur bahwa pemerintah dan/ atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya menetapkan organisasi KPH. Lebih jauh dinyatakan bahwa organisasi KPHK serta KPHL dan KPHP lintas provinsi ditetapkan oleh pemerintah pusat, organisasi KPHL dan KPHP lintas kabupaten/kota oleh pemerintah provinsi, dan KPHL dan KPHP di dalam wilayah kabupaten/kota oleh pemerintah kabupaten/kota. Apakah ini berarti bahwa lembaga KPH juga akan berjenjang sesuai dengan jenjang pemerintahan yang ada? KPH, menjadi bagian penting sistem pengurusan hutan nasional, provinsi dan kabupaten. Keterlibatan dan partisipasi penuh para pihak di daerah menentukan langkah-langkah keberhasilan menuju pengelolaan hutan lestari.

Badan Planologi Departemen Kehutanan (2006) menyebutkan bahwa selain pada tingkat unit (KPHP, KPHL, KPHK), wilayah pengelolaan hutan juga akan dibentuk pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Jika dikaitkan dengan bunyi Pasal 8 PP 6/2007, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa selain pada tingkat unit, lembaga KPH nampaknya juga akan ada pada tingkat kabupaten/kota (terbentuk dari himpunan unit-unit), pada tingkat provinsi (himpunan dari wilayah tingkat kabupaten/kota dan unit-unit lintas kabupaten/kota) dan pada tingkat pusat (himpunan dari wilayah tingkat provinsi dan unit-unit lintas provinsi).



Gambar 11. KPH menjadi bagian penting dalam sistem pengurusan hutan nasional, provinsi
dan kabupaten.


Beberapa pertanyaan yang perlu dikaji antara lain: (1) milik siapa lembaga-lembaga pada setiap tingkatan tersebut; (2) apa nama dan bagaimana kedudukan antara satu lembaga KPH pada tingkatan yang berbeda; (3) bagaimana kedudukan lembaga KPH dengan lembaga kehutanan daerah yang ada dan UPT Departemen Kehutanan yang ada di daerah? Munculnya pertanyaan „milik siapa“ terkait dengan pertanyaan lanjutan „siapa yang akan bertanggung jawab membayar dan melaksanakan tugas lembaga tersebut dan kepada siapa lembaga tersebut mempertanggungjawabkan kinerjanya? Apakah lembaga tingkat kabupaten akan diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten, tingkat provinsi oleh pemerintah provinsi, dan tingkat pusat oleh pemerintah pusat? Jika demikian, siapa yang bertanggung jawab menyelenggarakan operasional KPH tingkat unit? Pertanyaan kedua muncul terkait dengan koordinasi antara lembaga KPH pada tingkat pemerintahan yang berbeda. Jika tanggung jawab penyelenggaraan operasional KPH berada pada tingkat pemerintahan dimana lembaga tersebut berada (kabupaten, provinsi atau pusat), maka logikanya mereka mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada kepala pemerintahan pada tingkatan tersebut. Tidak adanya garis komando secara langsung dari lembaga KPH pusat, provinsi dan kabupaten diduga akan mempersulit koordinasi dan konsultasi.

Perwilayahan KPH

Perwilayahan KPH akan erat kaitannya dengan kelembagaan dan pembiayaan operasional lembaganya. Makin banyak wilayah-wilayah KPH maka akan semakin banyak pula lembaganya, yang pada akhirnya memiliki konsekuensi pada besarnya dana yang dibutuhkan untuk membiayai operasionalnya. Sehubungan dengan hal itu, untuk dapat mencapai tujuan KPH yang adalah “terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari“, maka perwilayahan KPH seharusnya juga dibuat dengan mempertimbangkan aspek efisiensi. Penggabungan pengelolaan kawasan hutan produksi dengan hutan lindung dan hutan konservasi dalam bentuk satu KPH memungkinkan terjadinya efisiensi pengelolaan.



Gambar 12. Keberadaan Hutan Menjadi bagian penting dalam keseharian
masyarakat sekitar hutan

Hal lain yang seharusnya juga dijadikan pertimbangkan oleh pemerintah pusat dalam membuat kriteria standar pembentukan wilayah KPH adalah harapan bahwa KPH nantinya dapat membiayai dirinya sendiri. Apabila perwilayahan dan kelembagaan dipisah-pisahkan menurut fungsi pokok dan peruntukan kawasan hutannya, maka akan ada KPH yang mampu membiayai dirinya secara berlebih dan ada KPH yang operasionalnya defisit. Bukan tidak mungkin KPHL dan KPHK yang pengelolaannya lebih diarahkan pada system penyangga kehidupan akan dianaktirikan karena tidak mampu menghasilkan pendapatan sebesar yang dapat dihasilkan oleh KPHP. Sebenarnya indikasi ini sudah nampak dengan belum dikeluarkannya pedoman tentang kriteria dan standar pembentukan KPHL dan KPHK sampai saat ini, padahal pedoman tentang kriteria dan standar pembentukan KPHP sudah ditetapkan pada bulan Juli 2003.



Gambar 13. Vegetasi hutan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) di
Kalimantan Timur Merupakan Aset Nasional yang Luar Biasa

Kawasan hutan dengan perbedaan fungsi pokok dan peruntukan sebenarnya saling terkait dan perlu dikelola secara terpadu. Alangkah ironis ketimpangan pengelolaan hutan yang terjadi selama ini, dimana di satu sisi begitu sulit untuk menyediakan anggaran bagi pengamanan kawasan hutan konservasi, tetapi di sisi lain di dalam kawasan hutan produksi wajib dibentuk blok konservasi plasma nutfah. Sebaliknya kawasan konservasi ditekan untuk mampu menghasilkan pendapatan bagi pengelolaannya sendiri. Oleh karena itu, perwilayahan KPH yang dibuat menurut fungsi pokok dan peruntukan kawasan hutannya berarti melanggengkan ketidaksinkronan system pengelolaan hutan mulai dari tingkat makro sampai ke tingkat unit KPH.

Mengingat eratnya keterkaitan antara kawasan hutan dengan fungsi dan status yang berbeda sebagai satu kesatuan ekosistem yang sama, wilayah kesatuan ekosistem atau wilayah DAS seharusnya dijadikan pertimbangan utama dalam penetapan perwilayahan KPH. Kawasan hutan produksi seharusnya dikelola dalam satu organisasi KPH dengan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi melalui sistem pembiayaan subsidi silang. Penerimaan yang diperoleh dari memanfaatkan hutan produksi sebagian harus digunakan untuk mengurusi hutan lindung dan hutan konservasi yang ada di wilayah KPH bersangkutan karena berfungsi sebagai system penyangga kehidupan. Dengan demikian, di dalam kawasan hutan produksi tidak perlu lagi dibuat blok perlindungan plasma nutfah.

Rekomendasi
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan sistem pengelolaan hutan yang cukup memberikan harapan bagi terciptanya pengelolaan hutan secara bertanggung gugat, efisien dan lestari di Indonesia. Melalui sistem KPH, seluruh kawasan hutan di Indonesia akan dibagi ke dalam wilayah- yang masing-masing dilengkapi dengan institusi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaannya mulai dari tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, sampai pada perlindungan hutan dan konservasi alam. Dengan demikian, untuk setiap wilayah akan jelas siapa pengelolanya, bagaimana pengelolaannya, dan siapa yang harus diminta bertanggung jawab apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaannya. Namun demikian, diantara sejumlah kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mengatur pembentukan dan pengelolaan KPH, masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar tujuan KPH – untuk menyediakan wadah bagi terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari – dapat dicapai.
Mengingat masih simpang siurnya pemahaman para stakeholder terhadap konsep  PH, maka konsep ini masih perlu dimantapkan, diperjelas dan disosialisasikan secara lebih intensif. Perbedaan ketentuan dalam PP 6/2007 dengan PP 38/2007 terkait pembentukan wilayah hutan perlu segera diperjelas. Pemerintah daerah, terutama kabupaten, perlu diberikan ruang dan peran yang lebih luas mulai dari proses pembentukan KPH sampai pada penyusunan rencana pengelolaannya.

Tanya – Jawab Seputar KPH
APAKAH YANG DISEBUT DENGAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) ITU  ?
Berikut penjelasan dalam bentuk tanya-jawab seputar Kesatuan Pengelolaan Hutan yang biasa disingkat dengan KPH.
1.    Peraturan perundangan apa saja yang mendasari pembangunan KPH ?
  1. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
  2. PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan
  3. PP No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan rencana pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
  4. Peraturan perundangan terkait lainnya
2.   Apa yang dimaksud dengan pengurusan hutan ?
Pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan  (UU 41 pasal 10 ayat 2) :
  1. perencanaan kehutanan,
  2. pengelolaan hutan,
  3. penelitian dan pengembangan, pendidikann dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan
  4. pengawasan
3.   Apa yang dimaksud dengan perencanaan kehutanan ?
Perencanaan kehutanan meliputi (UU 41 pasal 12) :
  1. inventarisasi hutan,
  2. pengukuhan kawasan hutan,
  3. penatagunaan kawasan hutan,
  4. pembentukan wilayah pengelolaan hutan,
  5. penyusunan rencana kehutanan.
4.  Apa yang dimaksud dengan pengelolaan hutan ?
Pengelolaan hutan melliputi kegiatan (UU 41 pasal 21) :
  1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
  2. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
  3. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
  4. perlindungan hutan dan konservasi alam.
5.    Dimana pembentukan wilayah pengelolaan dilakukan ?
Pembentukan wilayah pengelolaan dilaksanakan untuk tingkat :
  1. provinsi
  2. kabupaten/kota, dan
  3. unit pengelolaan
  4. pada seluruh kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi) (lihat pasal 17 UU 41).
6.   Apa yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi?
Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah propinsi yang dapat dikelola secara lestari (Penjelasan pasal 17 ayat 1 UU 41).
Wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi terbentuk dari himpunan wilayah-wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota dan unit-unit pengelolaan hutan lintas kabupaten/kota dalam provinsi (PP 44 pasal 27 ayat 1).
7.  Apa yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota ?
Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari (Penjelasan pasal 17 ayat 1 UU 41). Wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota terbentuk dari himpunan unit-unit pengelolaan hutan di wilayah kabupaten/kota dan hutan hak di wilayah kabupaten kota.
Wilayah pengelolaan hutan provinsi dan kabupaten/kota merupakan wilayah pengurusan hutan di provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup kegiatan-kegiatan:
  1. perencanaan kehutanan;
  2. pengelolaan hutan;
  3. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan;
  4. pengawasan. (Penjelasan pasal 26 ayat 2 PP 44).
8.    Apa yang dimaksud dengan unit pengelolaan ?
Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain KPHL, KPHK, KPHP, KPHKM, KPHA, dan KPDAS. (Penjelasan pasal 17 ayat 1 UU 41)
Unit Pengelolaan Hutan merupakan kesatuan pengelolaan hutan terkecil pada hamparan lahan hutan sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Penjelasan pasal 28 ayat 1 PP 44). Terdiri dari KPHP, KPHL dan KPHK
Catatan :
KPH menurut UU 41 terdapat 6 jenis KPH sedangkan pada PP 44 terdapat 3 jenis KPH sesuai fungsi pokok hutan, dengan argument bahwa HKM, HUTAN ADAT dan DAS dapat berada dan atau meliputi 3 jenis fungsi pokok hutan (konservasi, lindung, dan produksi)
Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. (PP 6/2007 Pasal 1 huruf 1)
Catatan
Unit terkecil pada pengertian UU 41 dan PP 44 di dalam PP 6 diwakili dengan pengertian efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan (lihat pasal 7 PP 6/2007), yang lebih lanjut kriteria luas KPH diatur melalui peraturan Menteri.
9      Apa yang dimaksud dengan pembangunan KPH ?
Pembangunan KPH, adalah serangakaian proses untuk menghasilkan wujud riil Unit Pengelolaan Hutan (KPH) di lapangan yang meliputi :
  1. pembentukan unit (wilayah) KPH (PP 44/2004 Pasal 29 dan 30),
  2. pembentukan institusi pengelola KPH pada setiap unit (PP 44/2004 Pasal 32), dan
  3. penyusunan rencana pengelolaan (PP 44/2004 Pasal 37)
10   Apa tujuan pembangunan KPH ?
Pembentukan wilayah pengelolaan bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari (PP 44 pasal 26 ayat 1), yang dilaksanakan untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota; dan unit pengelolaan (PP 44 pasal 26 ayat 2).
11   Bagaimana target pembangunan KPH tersebut ?
PP 4/2007 Pasal 141 mentargetkan pembentukan seluruh wilayah KPH dapat diselesaikan selama 2 tahun sejak PP diberlakukan (8 Januari 2007) sehingga harus sudah dapat selesai pada akhir 2008
Sedangkan pembentukan institusi (organisasi) KPH dilakukan secara bertahap sesuai dengan prioritas berdasarkan kebutuhan dan kondisi pengelolaan hutan (penjelasan Pasal 141)
12    Bagaimana tahapan di dalam proses pembentukan unit (wilayah) KPH ?
Tahapan pembentukan KPHK terdiri dari :
  1. Rancang bangun (oleh UPT Pusat)
  2. Arahan pencadangan (oleh Menhut)
  3. Penetapan (oleh Menhut) (Ps 29 PP 44 tahun 2004)
Tahapan pembentukan KPHP dan KPHL terdiri dari :
  1. Rancang bangun (oleh gubernur dengan pertimbangan bupati/walikota)
  2. Arahan Pencadangan (oleh Menhut)
  3. Pembentukan (oleh gubernur)
  4. Penetapan (oleh Menhut) (Ps 30 PP 44 tahun 2004)
13    Bagaimana pembentukan institusi pengelola (organisasi) KPH ?
Pemerintah dan/atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, sesuai kewenangan, menetapkan organisasi KPH (lihat pasal 8 PP 6/2007)
  1. Pemerintah menetapkan organisasi :
    1. KPHK; atau
    2. KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi.
    3. Pemerintah provinsi, menetapkan organisasi:
      1. KPHL dan KPHP lintas kabupaten/kota.
      2. Pemerintah kabupaten/kota menetapkan organisasi:
        1. KPHL dan KPHP dalam wilayah kabupaten/kota
Dalam menetapkan organisasi, khusus SDM harus memperhatikan syarat kompetensi.
14    Apa yang dimaksud dengan harus memperhatikan syarat kompetensi ketika menetapkan organisasi KPH ?
Organisasi KPH harus memiliki kompetensi untuk menyelengarakan kegiatan pengelolaan hutan yang meliputi :
  1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
  2. pemanfaatan hutan
  3. penggunaan kawasan hutan
  4. rehabilitasi hutan dan reklamasi
  5. perlindungan hutan dan konservasi alam
Agar memiliki kopetensi sebagaimana tersebut di atas, maka organisasi KPH harus diisi oleh personel yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan hutan, yaitu yang memenuhi syarat kompetensi kerja yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi (LSP) di bidang kehutanan atau pengakuan oleh Menteri (penjelasan Pasal 8 ayat (1) PP 6/2007)
Ketentuan mengenai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) mengacu pada UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
15     Apa yang menjadi tanggungjawab institusi pengelola ?
Pasal 32 PP 44/2004 mengatur bahwa pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dibentuk institusi pengelola yang beretanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi:
  1. perencanaan pengelolaan;
  2. pengorganisasian;
  3. pelaksanaan pengelolaan; dan
  4. pengendalian dan pengawasan.
Selanjutnya di dalam Pasal 9 ayat (1) PP No 6/2007 ditetapkan tugas dan fungsi organisasi KPH :
  1. menyelenggarakan pengelolaan hutan :
    1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
    2. pemanfaatan hutan
    3. penggunaan kawasan hutan
    4. rehabilitasi hutan dan reklamasi
    5. perlindungan hutan dan konservasi alam
    6. menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan;
    7. melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
    8. melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya;
    9. membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
16    Apa yang dimaksud dengan usaha pemanfaatan hasil hutan ?
Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. (UU 41 pasal 33 ayat1)
17    Bagaimana posisi KPH terhadap Dinas yang menangani urusan kehutanan di provinsi dan kabupaten/kota ?
KPH adalah pelaksana pengelolaan hutan, terfokus pada kegiatan teknis lapangan
Dinas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah penyelenggara pengurusan hutan, terfokus pada pelayanan administrasi pengurusan (antara lain proses perizinan)
Kalau KPH diposisikan sebagai struktur pengelolaan hutan, maka dinas di provinsi dan kabupaten/kota berada pada posisi infrastruktur yang harus memberikan pelayanan-pelayanan (dukungan) terhadap struktur KPH untuk dapat melaksanakan tugas pengelolaan hutan
Untuk dapat memberikan gambaran umum hubungan antara Dinas dan KPH dapat dicontohkan :
  1. Hubungan antara Dinas Kesehatan Kabupaten dengan Rumah Sakit, Puskesmas, dan Poliklinik Desa
  2. Hubungan antara Dinas Pendidikan dengan Sekolahan (SD, SMP dan SMA)
18    Apakah dalam satu unit KPH dapat terdiri dari lebih satu fungsi pokok kawasan ?
Dalam hal terdapat hutan konservasi  dan atau hutan lindung, dan atau hutan produksi yang tidak layak untuk dikelola menjadi satu unit pengelolaan hutan berdasarkan kriteria dan standar, maka pengelolaannya disatukan dengan unit pengelolaan hutan yang terdekat tanpa mengubah fungsi pokoknya. (Pasal 31 PP 44/2004). Ketentuan tersebut membuka kemungkinan dalam satu unit KPH dapat terdiri dari lebih dari satu fungsi pokok kawasan.
Dalam Pasal 6 PP No 6/2007, unit (wilayah) KPH
  1. Ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan.
  2. Dalam hal satu KPH terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, penetapan (nama) KPH berdasarkan fungsi yang luasnya dominan.
19    Berapa luas optimal satu unit KPH ?
Luas wilayah KPH ditetapkan dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah DAS atau satu kesatuan wilayah ekosistem (lihat Pasal 7 PP 6/2007), sesuai dengan karakteristik DAS/SubDAS dan tujuan pengelolaan KPH
Luas KPH optimal secara tepat (berapa hektar) sulit ditetapkan, sehingga dalam menentukan luas/batas wilayah KPH digunakan kriteria-kriteria yang dapat memberikan jaminan efisiensi dan efektifitas organisasi KPH yang akan dibentuk, antara lain :
  1. tujuan pengelolaan;
  2. kondisi daerah aliran sungai;
  3. batas administrasi pemerintahan;
  4. hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan;
  5. aksesibilitas;
  6. rentang kendali;
20      Selama ini yang dikerjakan adalah pembentukan KPHP dengan berpedoman pada SK Menhut No 230/Kpts-II/2003 tentang Pembentukan KPHP dan SK Ka Baplan No SK.14/VII-PW/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembentukan KPHP. Bagaimana posisi KPHP yang telah dibentuk tersebut terhadap KPH ?
(KPH vs KPHP, KPHL)
SK Menhut dan Ka Baplan tersebut menghasilkan disain wilayah KPHP yang hanya terdiri dari satu fungsi pokok hutan produksi
Dengan terbitnya PP 44/2004 dan PP 6/2007, untuk tujuan efisiensi dan efektifitas institusi pengelola (organisasi) yang akan dibentuk pada setiap unit KPH, maka dimungkinkan dalam satu unit KPH terdiri lebih dari satu fungsi pokok.
Disain wilayah KPHP yang telah disusun perlu dilihat kembali (dilengkapi) dengan memperhatikan posisi hutan lindung dan konservasi, yang selanjutnya perlu dipertimbangkan kembali batas wilayah KPH (dengan memperhatikan semua fungsi HP, HL dan HK) dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas organisasi KPH yang akan di bentuk pada setiap unit KPH
Data dan informasi serta deliniasi HP di dalam KPHP tetap digunakan sebagai dasar penyesuaian (transformasi) menjadi KPH.
21    Bagaimana strategi pembentukan institusi pengelola (organisasi) KPH ?
Pembangunan kelembagaan (termasuk di dalamnya organisasi) KPH memerlukan proses yang panjang dan keterkaitan luas dengan berbagai sektor serta kepentingan.
Proses panjang tersebut akan ditempuh melalui ”pendekatan bertahap” dengan kejelasan target-target antara yang harus dicapai sebelum sampai pada target puncak yang akan dicapai.
Pendekatan bertahap tersebut dimulai dengan pembangunan KPH Model yang secara bertahap dikembangkan menuju bentuk aktual (situasi dan kondisi riil) KPH di tingkat tapak, yaitu adanya kejelasan wilayah, kelembagaan/organisasi pengelola dan rencana kegiatan serta implementasinya di lapangan.
22    Apa yang dimaksud dengan KPH Model ?
Pengertian “Model” di dalam KPH Model adalah Perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. “Model” dikatakan lengkap apabila dapat mewakili beberapa aspek dari realitas yang sedang dikaji.
Pembangunan KPH Model tidak dimaksudkan untuk mencari bentuk KPH ideal yang akan diimplementasikan secara masal, tetapi merupakan bentuk awal organisasi KPH sesuai dengan tipologi wilayah setempat, yang secara bertahap didorong untuk berkembang sesuai dengan siklus pertumbuhan organisasi.
Dengan demikian KPH Model sebagai strategi pendekatan bertahap pembentukan kelembagaan KPH, ditempatkan sebagai bentuk (wujud) awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak, yang diindikasikan antara lain oleh suatu kemampuan menyerap tenaga kerja (al. personel organisasi KPH), investasi, memproduksi barang dan jasa kehutanan yang melembaga dalam system pengelolaan hutan secara lestari dan efisien.
23     Bagaimana membangun KPH Model ?
Telah tersedia pedoman pembangunan KPH Model yang ditetapkan melalui Peraturan Ka Baplan No. SK.80/VII-PW/2006, yang ruang lingkupnya meliputi :
  1. penyusunan rancangan pembangunan KPH Model
  2. pengorganisasian pembangunan KPH Model
  3. pelaksanaan pembangunan KPH Model
  4. pengawasan pembangunan KPH Model
24     Bagaimana  posisi penggunaan kawasan  hutan terhadap wilayah kelola KPH ?
Penggunaan kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan, yang berarti bila penggunaan kawasan hutan tersebut berakhir maka kawasan hutan dikembalikan ke negara yang pengelolaannya kembali menjadi kewenangan pemerintah.
Karena areal penggunaan tersebut tetap berstatus hutan negara, maka keberadaannya harus jelas berada di wilayah kerja suatu unit KPH. Dengan demikian KPH perlu melaksanakan monitoring terhadap pelaksanaan yang terkait dengan ketentuan-ketentuan pinjam pakai kawasan hutan
25      Apakah dengan adanya KPH tidak memperpanjang birokrasi ?
KPH tidak dalam posisi memberikan pelayanan dalam rangka proses-proses perizinan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.  Dengan demikian keberadaan KPH tidak akan menambah panjang birokrasi pelayanan tersebut.
KPH sesuai dengan tupoksinya berada pada posisi domain teknis pengelolaan hutan di tingkat tapak, sebagai gambaran adalah sebagai berikut:
  1. Melakukan kegiatan tata hutan di KPH yan terdiri dari : tata batas; inventarisasi hutan; pembagian ke dalam blok atau zona; pembagian petak dan anak petak; dan pemetaan.
  2. menyusun rencana pengelolaan jangka panjang dan  pendek
  3. melaksanakan penugasan dari Menteri untuk menyelenggarakan pemanfatan hutan, termasuk melakukan penjualan tegakan pada wilayah tertentu
  4. melaksanakan pemberdayaan masyarakat
  5. bersama lembaga desa menyusun rencana pengelolaan hutan desa
  6. memfasilitasi penyusunan RKUPHHK dan RKT pada HTR
  7. mengusulkan satu kesatuan luas petak untuk izin penjualan tegakan HTHR
  8. melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya;
    1. menerima tembusan ijin-ijin yang diterbitkan dalam rangka pemanfaatan hutan
    2. menerima tembusan perpanjangan ijin-ijin pemanfaaatan hutan
    3. mengesahkan rencana kerja tahunan (RKT) yang dibuat oleh pemegang izin pemanfaatan hutan
    4. menerima laporan hasil evaluasi RKUPHHK yg dilakukan pemegang izin setiap 5 tahun
26     Bagaimana hubungan pemegang ijin dengan institusi KPH ?
KPH mempunyai Tupoksi antara lain melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya, dengan demikian KPH akan melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan ijin pemanfaatan yang ada di wilayahnya. Sebagai contoh : KPH mengesahkan rencana kerja tahunan (RKT) pemegang ijin pemanfaatan; menerima laporan hasil evaluasi RKUPHHK yg dilakukan pemegang izin setiap 5 tahun,
27     Apakah organisasi KPH boleh dalam bentuk BUMD, atau BUMS ?
Sesuai dengan penjelasan Pasal 21 UU 41/1999, pada dasarnya pengelolaan hutan menjadi wewenang pemerintah dan atau pemerintah daerah yang dalam kondisi tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN.  Dengan penjelasan tersebut organisasi KPH dapat dalam bentuk UPT, UPTD atau BUMN.
28     Apakah pemegang IUPHHK dalam hutan alam atau hutan tanaman yang telah memperoleh sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) dapat ditetapkan sebagai pengelola KPH ?
IUPHHK adalah salah satu kegiatan dari pengelolaan. Salah satu tugas KPH adalah melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya (al kegiatan pemanfaatan hutan melaui IUPHHK). Pengelolaan hutan adalah kewenangan Pemerintah dan atau pemerintah daerah yang hanya dapat dilimpahkan kepada BUMN.  Dengan penjelasan tersebut, maka pemegang IUPHHK tidak dapat ditetapkan sebagai pengelola KPH.
29     Siapa yang bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH ?
Pasal 10 PP 6/2007 menyebutkan :
  1. Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan infrastrukturnya.
  2. Dana bagi pembangunan KPH bersumber:
    1. APBN;
    2. APBD; dan
    3. dana lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
30      Bagaimana posisi pemberdayaan masyarakat di dalam kerangka KPH ?
Pemberdayaan masyarakat (dengan instrumen hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan kemitraan) merupakan kewajiban Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab kepala KPH (PP 6/2007 Pasal 83 ayat 2)